Daftar Isi
- 1 AI dan Konsumsi Energi: Tren yang Meningkat Tajam
- 2 Peluncuran ChatGPT: Titik Balik Energi AI
- 3 Gelombang Baru Data Center dan Krisis Energi
- 4 Transparansi Energi: Masih Jadi Masalah
- 5 AS Diprediksi Alami Kenaikan Konsumsi Listrik 25%
- 6 Efisiensi: Harapan atau Mitos?
- 7 Jalan Keluar: Transparansi dan Pengukuran yang Akurat
- 8 Kesimpulan: Antara Kemajuan dan Krisis
Oleh Redaksi Tech Environment
Kecerdasan buatan (AI) semakin menjadi sorotan dunia, tak hanya karena kapabilitasnya yang menakjubkan, tapi juga karena dampak ekologis yang ditimbulkannya. Dalam laporan terbaru, AI diprediksi akan menjadi penyumbang konsumsi listrik terbesar di sektor teknologi, melampaui penambangan Bitcoin sebelum akhir tahun 2025. Lompatan ini menandai babak baru dalam tantangan energi global yang didorong oleh kemajuan teknologi.
AI dan Konsumsi Energi: Tren yang Meningkat Tajam
Menurut analisis terbaru dari Alex de Vries-Gao, kandidat PhD di Vrije Universiteit Amsterdam, penggunaan energi AI sudah menyumbang hingga 20% dari konsumsi listrik data center global. Namun, angka pasti sangat sulit dipastikan. Perusahaan-perusahaan teknologi besar cenderung menutup rapat data penggunaan energi AI mereka.
De Vries-Gao yang sebelumnya dikenal lewat penelitian konsumsi energi Bitcoin melalui situs Digiconomist, kini mengalihkan fokusnya ke AI, yang ia nilai berpotensi menimbulkan masalah lingkungan baru.
Peluncuran ChatGPT: Titik Balik Energi AI
Awalnya, de Vries-Gao sempat menghentikan penelitiannya setelah Ethereum beralih ke metode validasi transaksi yang lebih efisien. Namun peluncuran ChatGPT mengubah arah itu. “Saya pikir, ini akan jadi masalah besar lagi,” ungkapnya dalam wawancara dengan The Verge. Ia menyoroti kompetisi dalam industri AI yang mendorong pengembangan model yang semakin besar—dan rakus energi.
AI generatif seperti ChatGPT memang membutuhkan daya komputasi luar biasa besar, sehingga tak terhindarkan lagi dari konsumsi energi dalam skala masif. Dengan pertumbuhan eksponensial model dan penggunaannya, infrastruktur teknologi pun harus ikut berkembang.
Gelombang Baru Data Center dan Krisis Energi
Tingginya permintaan terhadap layanan AI membuat banyak perusahaan membangun data center baru, terutama di Amerika Serikat. AS kini menjadi episentrum infrastruktur data global, dan untuk mendukung kebutuhan tersebut, perusahaan-perusahaan listrik mulai merancang pembangkit tenaga baru, termasuk berbasis gas dan bahkan reaktor nuklir.
Kondisi ini mencerminkan kembali lonjakan energi pada masa awal berkembangnya kripto, di mana peningkatan mendadak beban listrik menunda transisi menuju energi terbarukan dan memperburuk emisi karbon.
Transparansi Energi: Masih Jadi Masalah
Masalah utama yang dihadapi dalam menilai dampak lingkungan dari AI adalah kurangnya transparansi. Meskipun Google dan Microsoft merilis laporan tahunan tentang emisi karbon, mereka tidak merinci berapa banyak dari emisi itu berasal dari aktivitas AI.
Untuk mengisi kekosongan data ini, de Vries-Gao menggunakan pendekatan tidak langsung—menghitung jumlah chip AI yang diproduksi oleh perusahaan seperti TSMC (pemasok utama chip untuk Nvidia dan AMD) dan memperkirakan total daya listrik yang digunakan.
Hasilnya mengejutkan. Ia memperkirakan bahwa konsumsi listrik AI tahun lalu setara dengan kebutuhan seluruh negara Belanda, dan akan meningkat hingga setara dengan Inggris pada 2025—yakni sekitar 23 gigawatt.
AS Diprediksi Alami Kenaikan Konsumsi Listrik 25%
Dalam laporan lain dari konsultan ICF, diprediksi bahwa permintaan listrik di AS akan naik hingga 25% sebelum 2030. Kenaikan ini bukan hanya karena AI, tapi juga pertumbuhan data center konvensional dan masih tingginya aktivitas penambangan Bitcoin.
Namun, memprediksi konsumsi energi AI secara presisi tetap menjadi tantangan. MIT Technology Review melaporkan bahwa dampaknya sangat bergantung pada lokasi fisik server dan sumber listrik lokal. Misalnya, jawaban ChatGPT yang diproses di West Virginia bisa menghasilkan dua kali lipat emisi karbon dibanding jika diproses di California yang lebih bersih dari segi energi.
Efisiensi: Harapan atau Mitos?
Beberapa pihak masih menaruh harapan pada efisiensi teknologi. Tahun ini, perusahaan DeepSeek mengklaim bahwa model AI miliknya hanya menggunakan sebagian kecil dari energi yang dibutuhkan oleh Llama 3.1 milik Meta.
Namun, de Vries-Gao memperingatkan adanya risiko paradoks Jevons, di mana peningkatan efisiensi justru membuat teknologi digunakan lebih sering, sehingga konsumsi energi total tetap meningkat.
Contoh sukses seperti Ethereum, yang berhasil memangkas penggunaan listrik hingga 99,988% setelah transisi ke metode konsensus baru, menunjukkan bahwa perubahan radikal memungkinkan. Namun, di sisi lain, komunitas Bitcoin tetap bertahan pada metode lama karena alasan ekonomi dan ideologis.
Jalan Keluar: Transparansi dan Pengukuran yang Akurat
Tanpa pengukuran yang akurat, upaya untuk mengatasi dampak lingkungan AI hanya akan menjadi wacana kosong. De Vries-Gao menekankan pentingnya keterbukaan data. “Langkah-langkah untuk mendapatkan estimasi energi AI saat ini sangat tidak masuk akal. Seharusnya lebih mudah,” tegasnya.
Tanpa data yang dapat diverifikasi, kebijakan lingkungan sulit diterapkan secara efektif. Karena itu, tekanan terhadap perusahaan teknologi untuk mempublikasikan konsumsi energi spesifik AI mereka semakin kuat.
Kesimpulan: Antara Kemajuan dan Krisis
Kehadiran AI membuka era baru dalam transformasi digital, namun juga menimbulkan tantangan baru dalam konsumsi energi global. Jika tak segera diatasi dengan kebijakan dan teknologi yang berpihak pada lingkungan, revolusi AI bisa menjadi bumerang ekologis.
Untuk memastikan kemajuan tidak datang dengan biaya lingkungan yang mahal, dunia memerlukan kolaborasi antara regulator, perusahaan teknologi, dan komunitas ilmiah. Transparansi, efisiensi, dan inovasi ramah lingkungan harus menjadi bagian integral dari perkembangan AI ke depan.

0 Comments