Wacana 1 Akun Medsos Dibahas


Di tengah meningkatnya penggunaan media sosial di Indonesia, muncul wacana kebijakan satu orang hanya boleh memiliki satu akun media sosial. Ide ini didorong dengan alasan untuk mengurangi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga akun palsu yang kerap menyesatkan masyarakat. Namun, wacana ini mendapat kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) yang menilai kebijakan tersebut berpotensi melanggar privasi dan kebebasan berekspresi.


Latar Belakang Wacana 1 Orang 1 Akun

Wacana pembatasan akun media sosial ini mulai mencuat dalam diskusi regulasi digital dan keamanan siber. Pemerintah berargumen bahwa aturan semacam ini bisa menjadi cara efektif untuk:

  • Mengurangi penyalahgunaan akun anonim untuk menyebar konten berbahaya.
  • Mempermudah pelacakan akun yang terlibat dalam tindak pidana digital.
  • Mendorong pengguna untuk lebih bertanggung jawab dalam aktivitas daring.

Meski terdengar logis, usulan ini memicu perdebatan panjang karena menyentuh ranah hak digital masyarakat.


Kritik SAFEnet: Ancaman terhadap Privasi

SAFEnet menyatakan, aturan 1 orang 1 akun media sosial justru akan membuka pintu bagi potensi pelanggaran privasi. Agar kebijakan bisa diterapkan, setiap akun pengguna harus diverifikasi dengan identitas asli, misalnya melalui KTP atau data biometrik.

“Hal ini berbahaya, karena data pribadi masyarakat bisa semakin terekspos dan berpotensi disalahgunakan,” ujar salah satu perwakilan SAFEnet dalam pernyataan resmi.

Di era digital, kebocoran data pribadi menjadi isu serius. Kasus peretasan dan jual-beli data di dark web menunjukkan bahwa semakin banyak data yang tersimpan, semakin besar pula risiko penyalahgunaan.


Kebebasan Berekspresi Bisa Terbatas

Selain soal privasi, kebijakan ini juga dianggap dapat membatasi kebebasan berekspresi. Banyak individu menggunakan lebih dari satu akun untuk berbagai kebutuhan, misalnya:

  • Akun pribadi dan akun profesional.
  • Akun bisnis online.
  • Akun untuk bereksperimen atau berkreasi secara anonim.

Jika aturan ini diterapkan, kreativitas digital dan ekspresi bebas di media sosial bisa terhambat. Orang yang ingin menyampaikan kritik terhadap pemerintah, misalnya, bisa merasa takut karena identitas mereka lebih mudah dilacak.


Perspektif Akademisi dan Aktivis

Sejumlah akademisi dan aktivis digital turut angkat bicara mengenai isu ini. Menurut mereka, membatasi jumlah akun bukanlah solusi utama untuk mengatasi masalah hoaks atau ujaran kebencian.

“Permasalahan utama bukan pada jumlah akun, tetapi pada literasi digital dan lemahnya sistem moderasi konten,” kata seorang pakar komunikasi digital.

Aktivis lain menambahkan, alih-alih membuat aturan represif, pemerintah sebaiknya memperkuat edukasi digital serta memperbaiki kerja sama dengan platform media sosial dalam mengendalikan konten berbahaya.


Perbandingan dengan Negara Lain

Regulasi terkait akun media sosial sebenarnya bukan hal baru. Beberapa negara telah mencoba pendekatan serupa, namun hasilnya tidak selalu efektif.

  • Tiongkok mewajibkan registrasi akun media sosial menggunakan identitas asli. Meski efektif melacak akun, kebijakan ini banyak dikritik karena membatasi kebebasan berpendapat.
  • Korea Selatan sempat mencoba aturan serupa pada 2007, tetapi akhirnya dibatalkan pada 2012 karena dianggap melanggar konstitusi dan hak privasi warga.

Contoh tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan akun sangat rawan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.


Risiko Praktis di Lapangan

Selain persoalan privasi dan kebebasan, penerapan aturan 1 orang 1 akun juga menghadapi kendala teknis. Misalnya:

  • Banyak masyarakat Indonesia memiliki lebih dari satu peran sosial (pribadi, pekerjaan, bisnis).
  • Platform global seperti Instagram, Facebook, dan TikTok belum tentu mau menyesuaikan sistem mereka hanya untuk satu negara.
  • Potensi munculnya pasar gelap akun yang diverifikasi dengan data orang lain.

Hal ini justru bisa menciptakan masalah baru, alih-alih menyelesaikan persoalan hoaks.


Alternatif Solusi yang Lebih Realistis

Alih-alih membatasi jumlah akun, ada beberapa solusi lain yang dinilai lebih efektif dan tidak melanggar hak digital:

  1. Meningkatkan Literasi Digital
    Edukasi masyarakat tentang cara mengenali hoaks dan menjaga etika berinternet jauh lebih berkelanjutan.
  2. Perkuat Sistem Moderasi Platform
    Pemerintah bisa bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk memperbaiki algoritma moderasi dan sistem pelaporan konten.
  3. Perlindungan Data yang Ketat
    Sebelum bicara tentang regulasi akun, seharusnya pemerintah lebih dulu memperbaiki tata kelola data pribadi yang aman.
  4. Dorong Akuntabilitas Tanpa Membatasi
    Berikan ruang kebebasan berekspresi, namun tetap ada mekanisme hukum untuk menindak tegas penyebar hoaks dan ujaran kebencian.

Suara Publik

Di media sosial, wacana ini langsung menuai beragam respons. Sebagian mendukung ide 1 akun untuk meminimalisir spam dan akun palsu. Namun, lebih banyak pengguna yang menolak karena khawatir kebebasan berekspresi mereka terancam.

“Kalau hanya boleh punya satu akun, bagaimana dengan akun bisnis saya?” tulis seorang warganet di X (Twitter).

Komentar lain menyebutkan, wacana ini menunjukkan pemerintah kurang memahami dinamika media sosial modern.


Kesimpulan

Wacana satu orang satu akun media sosial menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ide ini dianggap bisa menekan penyalahgunaan akun palsu. Namun, di sisi lain, risiko terhadap privasi, kebebasan berekspresi, hingga tantangan teknis membuatnya sangat kontroversial.

Menurut SAFEnet, solusi terbaik bukanlah membatasi jumlah akun, melainkan memperkuat literasi digital, sistem moderasi konten, serta perlindungan data pribadi. Dengan pendekatan ini, masyarakat tetap bisa menikmati ruang digital yang sehat tanpa harus kehilangan hak dasarnya.